Senin, 24 Desember 2012

Pamrih

sumber

Sejak kecil selalu diajarkan untuk melakukan sesuatu tanpa pamrih atau mengharapkan balasan dari apa yang telah kita lakukan. Kita sudah terlanjur meyakini bahwa tulus lebih baik dari pamrih. Tetapi, apa tulus dan pamrih itu sebenarnya? Adakah batasan-batasan yang jelas antara keduanya?
Untuk tulisan ini, kita batasi untuk istilah keduanya. Pamrih adalah melakukan suatu perbuatan dengan harapan adanya balasan dalam bentuk apapun dari apa yang dilakuan. Tulus adalah melakukan tanpa adanya harapan mendapatkan balasan dalam bentuk apapun dari apa yang dilakukan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering kali berlaku pamrih. Ketika berjalan dan mendapati seseorang yang kesulitan, kemudian kita menolongnya. Jika ditanyakan, kita pasti ikhlas-ikhlas saja melakukan hal tersebut. Benarkah ikhlas? Benarkah tidak ada harapan jika suatu saat nanti ketika kita mendapat kesulitan ada seseorang yang menolong kita? Pasti! Karena kita adalah manusia yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.
Setiap orang pasti punya keyakinan bahwa ketika kita berbuat baik, maka orang lain juga akan baik kepada kita. Jikapun bukan orang tersebut yang akan membalasnya, akan ada orang lain yang akan membalasnya, atau minimal Tuhan lah yang akan membalasnya. Dari pemahaman tersebut terlihat bahwa perbuatan baik yang kita lakukan adalah akibat dan harapan akan adanya balasan kebaikan jika kita melakukan kebaikan adalah sebabnya. Hubungan sebab dan akibat itu selalu nyata dalam kehidupan sehari-hari manusia, dan sering kali kita salah menafsirkan mana sebab dan mana akibat. Hubungan antara sebab dan akibat sering kali mengarah kepada pamrih. ‘Akibat’ mendasari seseorang untuk melakukan sesuatu. Alasan yang sering dianggap sebagai landasan ketika melakukan suatu perbuatan sebenarnya adalah ‘akibat’. Ada harapan jika suatu perbuatan dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang ada dalam khayalan kita.
Alasan adalah akibat. Hasil adalah akibat. Khayalan adalah akibat. Harapan adalah akibat. Lantas, apa itu sebab? Sebab muncul ketika kita melakukan sesuatu tanpa adanya harapan tentang sesuatu yang terjadi nantinya. Jika harapan, angan-angan muncul sesudah suatu perbuatan dilakukan, ia adalah sebab. Akan tetapi jika harapan dan angan-angan itu muncul sebelum suatu perbuatan dilakukan, ia adalah akibat. Oleh karena itu, sedikit sekali perbuatan yang menjadi sebab, sebagian besar dari perbuatan yang kita lakukan adalah ‘akibat’.
Ibadah yang kita lakukan juga termasuk ‘akibat’, dan sebagian besar dari kita beribadah  dengan pamrih. Tuhan memerintahkan kepada kita untuk beribadah. Akibat dari perintah tersebut menyebabkan kita beribadah. Tuhan berjanji bahwa setiap ibadah yang kita lakukan akan mendapat balasan dari-Nya. Ketika beribadah, kita memegang janji Tuhan bahwa Dia akan membalas ibadah yang kita lakukan dengan pahala dan surga, atau bertemu dengan-Nya di akhirat nanti. Bukankah itu pamrih? Ada harapan balasan dari ibadah kita. Tidak ada keikhlasan dalam ibadah kita.
Lantas, bagaimana ibadah yang tanpa pamrih? Setiap orang beribadah pasti mengharap pahala, surga dan bertemu dengan Tuhan di akhirat kelak. Adakah ibadah yang tanpa pamrih? Ibadah yang tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan pahala, surga, maupun bertemu dengan-Nya? Ada. Ibadah yang lillahi ta’ala. Ibadah seperti apa itu? Beribadah seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Saw.
Setiap orang, setiap manusia dengan latar belakang agama apapun bisa mengambil pelajaran dari Muhammad Saw. Dia adalah utusan Allah Swt yang mendapat keistimewaan terbebas dari segala dosa, dan sudah dipastikan mendapat pahala, surga dan tentunya bertemu dengan Allah Swt. Namun, beliau beribadah dengan sangat taat, segala puasa ia laksanakan, shalat tak pernah ia tinggalkan, shalat sunnah selalu ia kerjakan. Intinya, tidak ada satupun perintah Allah Swt yang tidak ia kerjakan dengan sepenuh hati. Itu semua ia lakukan sejak bangun tidur, hingga tidur kembali, bahkan ketika ia tidur. Segala yang beliau lakukan adalah sebab. Tidak pernah ia melakukan suatu perbuatan karena mengharap orang lain ataupun Tuhan akan membalas perbuatan baiknya. Beliau tidak memperlukan itu, karena tanpa mengharap pun ia telah mendapatkannya. Jikapun ada pengharapan yang beliau lakukan itu semua bukan untuknya, tetapi untuk para pengikutnya dan manusia di seluruh dunia.
Akan tetapi, kenapa Rasulullah mengajarkan kita untuk berharap? Yah, benar. Karena manusia butuh motivasi, penyokong keyakinan mereka. Namun, sebenarnya Rasulullah tidak hanya mengajarkan tentang harapan, tetapi juga keikhlasan beribadah lillahi ta’ala. Tapi, ajaran keikhlasan itu juga disertai harapan-harapan? Ya benar. Dan Al-Quran juga mengajarkan “Mengapa kamu tidak berpikir?

Jogjakarta, 24 Desember 2012
Ardianjusto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman