Selasa, 14 Juni 2011

Tagihan Surga

Sekarang aku baru tahu apa yang dirasakan teman-temanku yang sekarang menyandang title baru di keningnya. Mau tidak percaya tetapi ini nyata. Setiap hari hanya duduk termenung sendiri di pojok kamar. Duniaku adalah kamar ini dan seisinya. Warna hitam yang menyelubungi seluruh dinding kamar dan lampu kuning lima watt menjadi temanku saat ini, dan mungkin hingga nanti ketika waktu itu tiba. Setiap hari aku di sini, dipojok kamar, duduk bersila. Merenung, kadang mencari, kadang juga hanya sekedar melihat keindahan luar rumah lewat jendela-jendela imajiku. Dan ketika itu, tanpa sengaja, aku melihat Dia dan teman-temannya lewat di depan jendela imajiku.
***


Sejak aku kenal dengannya sepuluh tahun lalu. Hampir setiap pulang sekolah (ketika itu aku masih kelas satu SMP), Dia dan beberapa teman yang lain selalu pulang terakhir. Setelah bel pelajaran terakhir berdering, selesai membereskan semua bawaan, mereka ke kamar mandi sekolah, masuk ke dalam “surga” dengan beberapa teman yang lain dengan bantuan serbuk. Tidak banyak, hanya satu bungkus kecil yang Dia bawa. Serbuk putih itu Ia masukkan bong yang mereka buat dari botol bekas air mineral, pyrex yang mudah dicari di apotek-apotek, dan pipet, kemudian dibakar dengan api kecil. Asap yang keluar kemudian mereka hisap bersama-sama, secara bergantian. Kemudian mereka hembuskan. Puuuhhh.. lepas. Mengudara.
Aku cukup akrab dengannya. Sebenarnya tidak menyangka jika anak sebaik dan sepintar dia adalah penikmat “surga”. Orangnya cukup baik, ramah, dan juga pintar. Mungkin itu yang membuat banyak orang, termasuk aku, tidak menyangka dengan apa yang Ia lakukan. Aku mengetahui kelakuannya karena Dia yang mengajakku langsung. Tidak ada paksaan, halus, dan ramah. Aku percaya saja. Ketika itu aku benar-benar masih polos, belum tahu benar tentang “surga” mereka. Kemudian mereka menjelaskannya kepadaku. Aku terpikat. Selanjutnya aku menjadi bagian dari mereka.

Kami melakukannya berulang kali, tetapi tidak setiap hari. Anehnya, sampai kami lulus, apa yang kami lakukan tersebut tidak pernah diketahui oleh guru maupun pihak sekolah. Pernah suatu kali, ketika kelas dua SMP, ada seorang anak kelas tiga yang masuk ke kamar mandi ketika kami sedang bermain di “surga”. Bodohnya temanku, pintu kamar mandi tidak ditutup rapat. Ketika anak kelas tiga tersebut tanpa sengaja membuka kamar mandi, ia kaget melihat apa yang kami lakukan. Ia marah, dan berniat akan melaporkan perbuatan kami ke pihak sekolah. Sontak saja kami kaget dan ketakutan. Ketika kakak kelas itu akan berbalik, Dia melompat dan menarik lengannya. Mereka seperti mendiskusikan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang mereka diskusikan, suara mereka terlalu pelan, sedang aku, dan beberapa teman yang lain masih berada di dalam kamar mandi.

Tidak berapa lama, Dia kembali bersama kakak kelas yang tadi memergokin kami. Malah sekarang, kakak kelas tersebut ikut maen ke “surga”. Keeskokan harinya, kakak kelas tersebut mengajak beberapa temannya yang lain untuk ikut bersama kami. Masa-masa SMP benar-benar waktu terindah untuk menikmati “surga” buat kami.

Ketika lepas dari SMP, “surga” itu lenyap dan berubah warna. Hitam, kelam, dan berapi.

Teman-teman surgaku ketika SMP mengalami nasib buruk, seakan mendapat tagihan atas kenikmatan surga yang sudah didapatkan. Yah, ternyata surga yang selama ini kami selaluu kunjungi tidak gratis. Sekarang ia meminta bayarannya. Pertama kakak kelasku bersama beberapa temannya yang meninggal karena over dosis narkoba di WC sekolahnya. Kemudian temanku yang lain meninggal dihajar preman ketika pulang dari suatu tempat. Ada juga yang tewas terjatuh dari lantai tiga gedung sekolahnya. Yang mendapat tagihan paling ringan adalah Dia, orang yang pertama kali mengajakku mengunjungi “surga” itu. Belum lama ini aku dengar kabar burung kalau Dia mengindap penyakit paling mematikan. Aku tidak tahu kebenarannya, tetapi dalam hati aku berharap kabar itu benar. Aku ingin ia segera mati. Agar Dia tidak lagi membuat angan-angan kosong tentang surga.
***

Pagi hari di idul fitri…
Lupakan sejenak tentang Dia dan surga. Hari ini idul fitri. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku merayakan lebaran tahun ini di rumah bersama keluarga besarku. Hari ini hari bahagia, hari kemenangan. Jadi, kuharap tidak ada kesedihan hari ini.

Selintas, ada pertanyaan yang sedari kemarin mengganjal pikiranku. Jika teman-temanku yang lain sesama penikmat surga telah mendapat tagihan, apakah aku juga mendapatkan hal yang sama? Ah, pasti tidak. Kalaupun tagihan “surga” itu benar, pastilah sudah terbayar dengan segala amalan yang aku lakukan selama ini. Berpuasa selama satu bulan penuh, membayar zakat, dan beribadah siang dan malam. Aku juga sudah lama sekali tidak melihat “surga”. Seluruh hidupku sudah aku abdikan kepada Tuhan. Pagi hingga sore hari aku bekerja. Sehabis magrib aku menyempatkan waktu untuk anak-anak dan orangtua yang ingin belajar mengaji. Setiap aku punya harta, sebanyak apapun itu, pasti aku berikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan? Tidak ada waktu bagiku untuk sekadar melihat “surga”. Dan aku juga tidak akan pernah lagi melihat “surga”. Kalaupun tagihan “surga” itu benar ada, pastilah sudah terbayarkan. Kurasa kekhawatiranku berlebihan.

Tetapi, siang itu kekhawatiranku terjawab.

Seperti biasa, selesai sholat Ied di lapangan umum, kami sekeluarga makan bersama di rumah. Kemudian berkeliling ke rumah keluarga dan tetangga untuk bersilahturahmi, saling bersalaman untuk meminta maaf dan memaafkan. Hingga menjelang siang aktifitas rutin setahun sekali itu berjalan. Ternyata melelahkan juga. Padahal kami hanya menghampiri rumah satu persatu, bersalaman, berpelukan, saling sapa dengan handai toulan yang baru pulang merantau.

“Mas sakit ya? Wajah Mas pucat sekali?” tanya adik perempuanku.

“Hah? Pucat?” dengan gugup aku meraba-raba wajahku. Peluh yang membasahi wajahku membuatnya terasa lembab dan dingin.

Aku melihat wajahku di depan cermin. Adikku benar. Wajahku benar-benar pucat. Bibirku juga sedikit membiru. Ada apa ini? Sepertinya sepagian tadi tidak ada yang aneh denganku. Kenapa bisa seperti ini?
Sekejap kemudian tubuhku bergetar. Peluh semakin membanjiri wajah hingga ke seluruh tubuhku. Hawa tubuhku seketika menguap, seperti air yang dididihkan dan mataku berkunang-kunang. Kemudian berubah putih. Silau. Lalu, menjadi gelap.

Samar-samar sesosok makhluk besar mendatangiku. Dengan mata besar dan tubuhnya yang kekar, ia menagih sesuatu.
***

Sekarang aku sudah tahu apa yang dirasakan teman-temanku tentang tagihan itu. Mau tidak percaya tetapi ini nyata. Setiap hari hanya duduk termenung sendiri di pojok kamar. Duniaku adalah kamar ini dan seisinya. Warna hitam yang menyelubungi seluruh dinding kamar dan lampu kuning lima watt menjadi temanku saat ini, dan mungkin hingga nanti ketika waktu itu tiba. Setiap hari aku di sini, dipojok kamar, duduk bersila. Merenung, kadang mencari, kadang juga hanya sekedar melihat keindahan luar rumah lewat jendela-jendela imajiku. Dan ketika itu, tanpa sengaja, aku melihat Dia dan teman-temannya lewat di depan jendela imajiku.

Aku berteriak. Aku memaki. Tetapi, Dia hanya berlalu.

-cerpen by ardian-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman